Yang Kedua itu

Di hari pengumuman hasil ujian PTN pada tahun kedua, teman-teman sudah bangun pagi mencari koran yang ada pengumumannya. Bahkan ada yang rela datang ke Senayan demi mendapatkan lembar pengumuman itu.

Aku hari itu tidak sibuk mencari pengumuman. Selain karena aku sudah yakin lulus ujian masuk PTN, hari itu adalah ujian kursus bahasa Inggris di LIA (Lembaga Indonesia Amerika).

Setelah selesai ujian, aku pergi hangout bersama teman2 kursus. Di bis kota kebetulan bertemu orang yang sedang membaca koran. Lalu aku pinjam korannya sebentar dan melihat namaku ada di sana. Aku lihat nomer kode universitasnya, dan karena nomor itu bukan kode ITB (aku waktu itu hafal nomor kode ITB) maka aku melanjutkan saja dolan-dolan bersama teman2 karena aku tidak excited sama sekali saat itu.

Sesampai di rumah, aku ditanyai Om -yang kebetulan tinggal di rumahku- apakah aku lulus UMPTN atau tidak.
Aku menjawab dengan tenang,”Lulus, Om.”
Terus si Om bertanya lagi,”Di mana Fred?”
“UGM, Om”, lanjutku

Si Om mengira aku stress berat. Dia nggak percaya aku lulus di UGM. Lha banyak orang pintar saja tidak lulus UGM kok. Ini anak badung, preman pula, masak iya masuk UGM.

Malam itu aku lanjutkan ngumpul2 dengan pemuda2 kampung, sambil bernyanyi2 dan gitaran di bawah pohon seperti orang patah hati.
Lalu ada teman bertanya,”Kok elo nggak seneng sih Fred lulus UMPTN?”
“Ah biasa aja, cuma UGM kok.”, jawabku

*****

Pada tahun pertama kuliah di UGM, aku sempat berencana untuk mencoba ikut ujian PTN lagi tahun depannya agar bisa masuk ITB. Apalagi aku dipanasi teman-temanku yang kuliah di ITB. Kata temanku,”Fred, di Bandung ini cewek cantik di mana-mana. Elo pergi ke pasar sayur aja ketemu cewek cantik.”
Sementara di UGM kok kayaknya ketemu yang bening itu jarang-jarang banget.

Namun tak lama kuliah di UGM, aku menemukan liga-ku. Walaupun aku pontang-panting di dunia akademis sehingga nilai yang keluar terdistribusi di nilai D dan C, aku ternyata memiliki kelebihan yang tidak dimiliki para juara yang kuliah di TE UGM waktu itu.

Kelebihanku adalah aku sudah pintar programming -bahkan sudah bisa membuat virus komputer-, sementara sebagian besar teman2 baru melihat komputer pertama kali setelah kuliah. Maka aku melaju kencang. Semester 2 saja aku sudah ikut proyek dosen, yang mana 3 angkatan di atasku saja tak ada yang berani melamar. Teman satu team-ku -namanya Bang Irwan- adalah 4 angkatan di atasku.

Di UGM juga, aku bisa menjadi ketua KMTE (Keluarga Mahasiswa Teknik Elektro), padahal pengalaman organisasi waktu SMA tidak ada, dan satu2nya pengalaman organisasi cuma sebagai ketua remaja Masjid dan preman kampung.

Semasa kuliah, terutama ketika aktif di KMTE, aku sempat beberapa kali bertemu dengan teman2 TE ITB dalam seminar2 nasional dan berbagai acara lainnya. Dan disinilah aku menguji kesaktian dan menyadari bahwa TE UGM ternyata tidak ketinggalan. Level-nya TE ITB rata-rata air sajalah dengan TE UGM.

Masih belum ditambah kebaikan para dosen dan laboran2 di TE sehingga aku sempat menjadi jin penunggu beberapa lab di Teknik Elektro semasa kuliah sehingga pengalaman dan keterampilan teknisku makin terasah.

Akhirnya, aku tak lagi minder kuliah di UGM. Aku justru malah bersyukur karena kegagalanku diterima di ITB ternyata bisa membawaku pada nasib baik.

*****

Aku ini pada dasarnya sombong, arogan, belagu dan kemlinthi. Jika aku kuliah di ITB dulu, aku mungkin sekarang akan tambah arogan seperti bagaimana anak ITB pada umumnya.
Lingkungan UGM yang sepoi-sepoi, telah membuatku menjadi lebih jinak dan berkurang arogannya.

Selain itu, aku juga bisa mengenal teman-teman dari Ekonomi, Psikologi, Kedokteran, Sospol dan berbagai fakultas selain teknik karena aku kuliah di UGM. Sesuatu yang peluangnya sangat kecil jika aku dulu kuliah di ITB, mengingat aku orangnya pendiam dan pemalu sehingga tak akan mungkin berani menjajah sampai ke Unpad.

Dan lebih dari semua itu, aku bisa masuk FB group kurang kerjaan kayak group Kagama ini karena aku kuliah di UGM. Konon kabarnya group-group alumni lain (termasuk ITB), isi diskusinya berat-berat dan serius terus. Tidak ada group remeh-temeh dan kurang kerjaan kayak group-group yang lahir dari UGM.

UGM telah membuatku lebih menjadi manusia.
Jika saja aku kuliah di ITB, barangkali aku sekarang telah menjadi RoboCop atau Terminator.
Untunglah aku kuliah di UGM, sehingga aku sekarang menjadi Jason Bourne.

What else?
Love UGM, Jogja, and You !

Dubai, 24 Oct 2017,

-bank al-

Comments

Popular posts from this blog

Jurus Mencari Jodoh

Tertipu Hitungan Kartu Belanja Carrefour

Ngadutrafik 2007 dan perilaku lapor-melapor