Posts

Showing posts from July, 2017

Standing Still is equal to death

Kalimat di atas itu diucapkan oleh beberapa inspirator dari Lembah Silikon yang mengajak orang-orang untuk selalu belajar, bergerak dan berkembang karena Dunia ini bertumbuh demikian cepat secara eksponensial. Menurut pepatah itu, orang yg melakukan itu-itu saja bertahun-tahun, sama saja dengan orang mati. Nah, aku saat itu sebenarnya sudah hidup enak banget. Tidak pernah pergi ke kantor, main sama anak2 saja di rumah, dan penghasilan cukup lah untuk makan seadanya. Namun pekerjaan yang aku lakukan memang tak banyak berubah. Maka aku jadi tersindir oleh inspirator itu, dituduh wong matek. Maka dengan tololnya, aku resign dari pekerjaan yang sudah bagus itu, pindah ke tempat lain yang baru. Hidup mendadak berubah, yang tadinya tak pernah ngantor, sekarang harus ngantor. Yang tadinya tak pernah bangun pagi, sekarang harus bangun pagi. Yg sebelumnya tak perlu nyetir tiap hari, sekarang nyetir ratusan kilo dengan speed 140 km/j tiap hari. Aku harus pula belajar banyak teknologi baru, yang

Aim to be just Average

Dalam sebuah pelatihan yang pernah aku dapatkan, Mark -mentor pada pelatihan itu- menyatakan keinginannya bahwa dia tidak mengharapkan murid-muridnya mengejar nilai tinggi. Dia menyarankan murid-muridnya untuk hanya menjadi rata-rata. He said,”I’m here to prepare you for life. I’m not preparing for for a grade. Don’t aim to be the best, but aim to be just average.” Tentu saja keinginan Mark ini membuatku bingung. Di kala banyak mentor atau guru mengharapkan murid-muridnya mendapatkan nilai yang tinggi, mengapa Mark justru menyarankan muridnya untuk menjadi just average? Mark, yang kebetulan berkebangsaan Jerman ini, kemudian menjelaskan beberapa alasan mengapa menjadi the average lebih baik daripada menjadi the best. Alasan-alasan tersebut adalah, (1) No more room to improve “If you are the best in a room, you are in a wrong room”, kata Mark. Ketika seseorang sudah berada di titik puncak, maka sudah tak banyak lagi ruangan baginya untuk belajar. Tidak ada lagi tempat baginya untuk memp

Di Suatu Senja

Matahari masih belum hilang ditelan horizon, di kala seorang lelaki berwajah keriput duduk termangu di deretan bangku pada sebuah tempat perbelanjaan yang senja itu relatif sepi. Matanya menatap kosong ke alam fana, ingatannya melayang entah ke mana, bibirnya terkunci diam tanpa sepatahpun kata. Banyaknya peristiwa pelik yang dilewati lelaki itu telah membuatnya mengemudi ratusan kilometer di senja itu tanpa rencana dan menyebabkannya terdampar sebelum matahari tenggelam. Kebingungan melanda, hatinya resah, kegusaran menggelora, air mata menetes melihat sekelilingnya. Akhirnya, lelaki berkening kerut itu membuka tas-nya, mengeluarkan Macbook pro-nya, dan mulai menulis untuk meredamkan gejolak di dalam jiwa. Tulisan demi tuisan bergulir satu demi satu di layar perangkatnya meneriakkan jeritan jiwanya. Dalam tulisannya laki2 bertubuh atletis itu menjerit,”Siaaaal, gue datang kecepetan. Ini masih jam 6, padahal Maghrib masih 1 jam lagi. Perut udah laper banget ! Ini mana orang2 pada pamer

Why do you love me?

Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang hampir tiap malam ditanyakan oleh anak perempuanku ketika aku menemaninya hingga tertidur. Seperti biasa, sebelum dia tidur aku selalu mengucapkan, "I love you, Sweetheart" Dijawab,"I love you too, Ayah." Dan disambung,"But why do you love me, Ayah?" Awalnya aku jawab,"Because you are beautiful, Sweetheart." Eh malah dibalas,"How if I'm not beautiful?" Good question. Aku mikir lagi, terus aku jawab,"I still love you, because you are smart, Babe." Ternyata masih ada sambungannya,"And if I'm not smart?" Waduh, pertanyaan menohok. Ternyata memang nggak bisa dijawab. Dan akhirnya aku jawab, "Sweetheart, I love you because you are you. I love you how the way you are, and will always love you forever. Sometimes I was upset with you. But it didn't mean that I don't love you. I just don't like what you did, and I didn't want you to do that again. But I love y