Keberuntungan adalah subjektif

Pada tulisan sebelumnya, saya sudah mencoba mendefinisikan keberuntungan. Walapun saat saya menulis saya sudah cukup yakin bahwa definisi itu akan dengan mudah diterima semua orang, namun ternyata tidak demikian. Komentar-komentar yang muncul menyiratkan bahwa penjelasan saya belum bisa diterima dengan penuh.

Saya sempat mandeg meneruskan cerita ini karena belum menemukan cara lain untuk menjelaskannya. Akhirnya saya sadar bahwa yg namanya keberuntungan (atau luck) itu adalah sesuatu yang subjektif. Oleh karenanya, sebuah peristiwa yg disebut keberuntungan oleh seseorang, belum tentu dianggap demikian oleh orang lain.

Salah satu contohnya adalah ketika adik saya lulus UMPTN dan masuk elektro ITB. Beberapa orang menggosip bahwa Ibu saya pergi ke dukun supaya anak-anaknya bisa tembus di PTN semua. Dan sebagian besar orang lain mengatakan adik saya beruntung bisa masuk elekro ITB. Orang-orang ini tidak percaya bahwa adik saya yang kelas 3 SMA aja nggak lulus dan harus mengulang kelas 3 kok bisa tembus ITB, sementara orang-orang lain yg juara satu di sekolah aja tidak bisa sekolah di PTN pilihannya.

Adik saya menolak disebut beruntung. Dan saya juga sepaham dengan adik saya. Kami tahu bahwa untuk bisa masuk PTN itu caranya mudah, yaitu lulus UMPTN dan prestasi apapun di SMA tidak diperhitungkan selama seorang calon mahasiswa bisa menjawab soal UMPTN sesuai kebutuhan. Sementara orang-orang tersebut karena mungkin tidak tahu bagaimana caranya menjawab soal dengan benar maka mereka menganggap adik saya beruntung.

Peristiwa yang sama juga pernah diceritakan oleh Mas Eka, seorang manager yang seringkali diolok-olok rekan-rekannya bahwa dia beruntung bisa mendapatkan posisi manajer tersebut. Konon tuduhan tersebut berdasarkan kenyataan bahwa di tempatnya bekerja tidak ada manajer yang berasal dari UGM. Mas Eka juga membantah bahwa peristiwa tersebut adalah keberuntungan. Menurut Mas Eka, dia memang pantas dan layak menjadi manajer.

Ada lagi kasus Mak Minul yang tiba-tiba mendapatkan rejeki nomplok sebesar 1 milyar padahal sebelumnya memiliki uang 100 ribu saja belum pernah. Apakah dia beruntung? Orang lain mungkin mengatakan iya, tapi Mak Minul tidak demikian. Mak Minul malah jadi stress sejak memiliki uang tersebut, karena dia harus repot-repot menjaganya, dan rumahnya jadi sering kedatangan saudara-saudara jauh dan teman2 yg sebelumnya tidak dikenal yg ingin meminjam atau meminta uangnya.

Nah, ketiga cerita di atas memperlihatkan bahwa tidak selalu ada kata sepakat atas sesuatu yg disebut keberuntungan karena keberuntungan itu subjektif. Orang yang merasa beruntung belum tentu dianggap beruntung oleh orang lain. Sebaliknya, orang yg dianggap beruntung oleh orang lain, belum tentu juga merasa beruntung.

Lantas mengapa keberuntungan ini menjadi subjektif? Hal ini disebabkan karena keberuntungan ini terjadi atas gabungan dua faktor, yaitu: Proses untuk mencapainya, dan Hasil yang diharapkan. Semakin tidak tahu sesorang atas proses yang dibutuhkan untuk meraih harapan, maka dia akan makin merasa beruntung ketika mendapatkannya. Sebaliknya, semakin besar pengetahuan seseorang akan proses yg dibutuhkan, maka makin kecil rasa keberuntungan yg dimilikinya.

Nah, kalau masih belum sepakat juga, berarti betul bahwa keberuntungan itu memang subjektif. Dan saya akan tetap lanjut menulis walaupun tidak ada kesepakatan. :)

Tulisan terkait:

  1. Apakah keberuntungan itu?

  2. Bagaimana menghentikan bad luck?

Comments

  1. Entah kenapa saya setuju dengan pendapat Abang. Tergantung dari mana kita melihatnya. Itu aja koq masalahnya. Bukannya cobaan itu disebut keberuntungan kalau kita bisa menghadapinya dengan sikap yang tepat ? :D Cuma pendapat saya aja lo Bang...

    ReplyDelete
  2. memang tidak harus ada kesepakatan untuk melanjutkan menulis

    ReplyDelete
  3. wah adik bang Ai kayak saya nih. Saya juga nggak naik kelas 2 waktu SMA, tapi keterima di EL ITB. Adik abang angkatan brapa?

    ReplyDelete
  4. Bank AL pernah bepikir ga, Benarkah Bahwa yang namanya keberuntungan itu ada?, kalau keberuntungan itu ada? lalu dimana letak keadilan tuhan?,tapi seandainya yang terjadi itu adalah hasil usaha kita, hingga kita memang pantas mendapatkannya, benarkah itu?karna, kita menjadi orang yang berusaha dan menjadi orang yang pantaspun jika dipikir2 itupun adalah sebuah keberuntungan dibandingkan orang lain yang tidak seperti kita. jadi menurut Bang AL keberuntungan itu memang benar2 ada atau tidak?

    ReplyDelete
  5. Asep, jika definisi keberuntungan adalah sesuai dengan tulisan "apakah keberuntungan itu" yg telah dikaitkan di atas, maka menurutku keberuntungan itu memang benar2 ada.

    Keberuntungan itu tidak berhubungan dengan pantas atau tidaknya kita mendapatkan sesuatu. Tapi lebih ke apakah kita memperkirakan atau tidaknya sebuah kejadian yang disukai. Jika kita sudah merencanakan dan memperkirakan sebuah kejadian dan ternyata hal tersebut terjadi, maka itu bukanlah keberuntungan.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kidal dan Otak

Ngadutrafik 2007 dan perilaku lapor-melapor

Nenda tidak salah dan Ngadutraffik tidak melanggar TOS