Brain Drain dan Experience Drain

Pada piala dunia kemarin, aku sempat heran melihat beberapa negara-negara yang sebelumnya tidak terdengar di piala dunia kok tiba-tiba muncul di piala dunia. Keherananku itu akhirnya terjawab ketika beberapa hari yang lalu aku membaca tulisan menarik dari Branko Milanovic pada kolom di majalah Tempo yang berjudul "Pelajaran dari Piala Dunia"

Mas Branko yg brengosan ini mengatakan bahwa globalisasi telah menyebabkan migrasinya pemain-pemain andalan dari berbagai negara ke klub-klub sepakbola yang kaya yang mampu dan mau membeli pemain-pemain tangguh dari negara lain. Migrasi pemain andalan ini menyebabkan terkonsentrasi pemain-pemain tangguh dari seluruh penjuru dunia pada klub-klub sepakbola kaya tersebut.

Migrasi ini memang menguntungkan klub-klub kaya karena prestasi klub menjadi jauh melejit meninggalkan klub-klub yg relatif tidak kaya. Namun di sisin lain, sebetulnya kemampuan para pemain tangguh itu juga berkembang karena mereka setiap hari bermain dan berlatih dengan orang-orang tangguh lainnya.

Dalam ajang Piala Dunia, FIFA mensyaratkan seorang pemain hanya boleh main untuk satu tim nasional. Hal ini menyebabkan para pemain unggul - yang sudah meningkat kemampuannya setelah bermain di tim elit itu - akan kembali ke kampungnya untuk memperkuat negaranya sendiri. Fenomena inilah yg menyebabkan negara-negara kecil (dalam arti kekuatan sepakbola) bisa muncul di piala dunia dan bahkan bisa mencatat prestasi yang lumayan seperti misalnya Turki dan Korea.

Wacana ini menjadi semakin menarik ketika Mas Branko mengambil pelajaran dari Piala Dunia ini untuk fenomena Brain Drain yang juga terjadi pada dunia kerja lainnya. Brain Drain memang mencemaskan beberapa kalangan di negara-negara kecil seperti Indonesia ini karena hari demi hari para profesional dari negara kita semakin banyak yang hijrah ke negeri lain untuk mencari hidup yang lebih layak. Beberapa diskusi sempat saya baca yang tampaknya mengarah pada keinginan untuk mencegah terjadinya Brain Drain dan upaya menarik kembali para profesional itu kembali ke kampungnya.

Dengan fenomena Piala Dunia ini, mungkin kita bisa meninjau ulang lagi fenomena Brain Drain dari sisi positifnya. Alih-alih mencegah terjadinya Brain Drain, kita justru malah sebaliknya menyemangati profesional-profesional kita untuk berani hijrah ke negeri seberang dan mencari pengalaman, keahlian dan koneksi di tempat yang baru.

Yang masih perlu dipikirkan adalah bagaimana mekanisme-nya sehingga ada semacam ajang di mana para profesional yang hijrah ini bisa menyumbangkan pengalaman, keahlian dan koneksi-nya bagi Indonesia seperti bagaimana FIFA membuat aturan untuk piala dunia.

Mas Branko, Ekonom The Carnegie Endowment for International Peace ini, mengusulkan semacam aturan pembatasan Internasional. Misalnya, migran dari negara-negara miskin diwajibkan untuk meluangkan waktu selama satu tahun di negara asal setelah dia bekerja selama 5 tahun di negeri orang.

Nah, bagaimana pendapat teman-teman ?

Comments

Popular posts from this blog

Jurus Mencari Jodoh

Tertipu Hitungan Kartu Belanja Carrefour

Ngadutrafik 2007 dan perilaku lapor-melapor